Sabtu, 22 Oktober 2011

MENGENAL PENGHISAPAN ATAS KELAS PEKERJA

Sungguh melelahkan. Sudah berbulan-bulan pekerja PT. Adam Air menunggu kejelasan atas nasib mereka, akan tetapi sampai sekarang mereka belum memiliki kejelasan soal itu. Demikian pula dengan perjuangan buruh-buruh PT. Maspion di Sidoarjo, Jawa Timur, sampai melakukan pemogokan berbulan-bulan akan tetapi belum memberikan hasil yang memuaskan kaum buruh. Kejadian-kejadian diatas memperlihatkan kepada kita, bagaimana kaum buruh berhadapan bukan hanya dengan relasi-relasi industrial dilingkungan kerja, akan tetapi berhadapan dengan sebuah sistem ekonomi-politik yang begitu kuat. Meskipun segala tenaga sudah dikerahkan, akan tetapi hasil akhirnya tetap saja tidak memihak kepada kita. Sudah berkali-kali kita memanjatkan do,a-do,a kepada tuhan untuk memberi melindungi kita dari kemalangan, pemutusan hubungan kerja (PHK), upah yang layak, akan tetapi tetap saja sampai hari ini kita berhadapan dengan kondisi perburuhan yang tidak memihak kepada kepentingan kaum buruh.

Begitu banyak Undang-Undang dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak memberikan jaminan hukum bahwa hak-hak kaum buruh akan terlindungi. Demikian pula, begitu banyak sosialisasi tentang hak-hak normatif kaum buruh akan tetapi tidak pernah menyelesaikan hubungan (relasi) tidak setara antara kaum buruh dan pengusaha. Berikut ini, kita akan membongkar relasi-relasi penindasan dan keterkaitan ekonomi-politik dengan problem –problem kesejahteraan dan kondisi kerja kaum buruh.

Hubungan antara kaum buruh dan Pengusaha

Dalam konteks hubungan industrial pancasila, konsep perburuhan yang dianut oleh pemerintah Indonesia saat ini, pengertian buruh/pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja didalam hubungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah. Merujuk pada pengertian ini, maka hubungan timbal-balik antara pengusaha dan pekerja sudah bersifat adil (setara) karena pengusaha memiliki modal dan pabrik sedangkan buruh melakukan kerja dan memperoleh imbalan berupa upah atas pekerjaannya itu. Inilah pengertian umum yang banyak diterima oleh kaum buruh dan banyak serikat pekerja. Akan tetapi, pengertian ini memiliki kepentingan ideologis yang begitu kuat untuk menutup-nutupi dan memanipulasi pertentangan yang sebenarnya berlansung dalam masyarakat kapitalis. Negara sebagai sebuah organisasi yang turut merumuskan kebijakan tersebut bukanlah sebuah organisasi yang netral dan murni.

Pengertian berlawanan justru diberikan oleh marxisme yang menganggap bahwa pekerja itu terdiri dari seluruh orang yang, pertama-tama, karena tidak memiliki alat-alat produksi terpaksa menjual tenaga kerja mereka untuk mendapatkan upah atau gaji; dan kedua, jika mereka dipekerjakan, maka mereka menghasilkan nilai lebih dari kerja mereka, yang memungkinkan majikan mereka untuk merampas nilai lebih tersebut, yang diciptakan oleh orang lain. Jika ilmuwan borjuis (dan juga pemerintah) mengidentikkan pekerja hanya pada pekerja manual (fisik), maka kita akan memperkenalkan konsep pekerja kolektif yang menggabungkan antara pekerja manual (fisik) dan pekerja mental, yaitu mereka yang terlibat dalam proses produksi dan fungsi kerja tambahan lainnya.

Dalam konsep hubungan Industrial Pancasila (HIP) juga ditegaskan soal konsep hubungan antara pekerja dan buruh Indonesia. Menurutnya, indonesia memiliki perbedaan dengan negara eropa yang mengakui eksistensi pertentangan klas antara pengusaha dan buruh, sedangkan di Indonesia posisi antara kaum buruh dan pengusaha adalah mitra yang posisinya sejajar/setara. Konsep ini bermuasal pada penafsiran sepihak (reduksionis) terhadap Pancasila yang dianggap ideologi kekeluargaan dan mengedepankan harmonisasi. Selama berpuluh-puluh tahun kita dibodohi dengan konsep harmonisasi klas yakni sebuah perdamaian persamaan kepentingan antara buruh dan pengusaha.

Buruh memiliki kepentingan berbeda dengan pengusaha. Itu merupakan sebuah dalil yang tak terbantahkan. Dalam sistem produksi orientasi pekerja dan pengusaha susah berjalan beriringan kalaupun terjadi, maka itu hanya bentuk kompromi (sementara). Buruh dimana-mana berkepentingan terhadap perbaikan kondisi kerja dan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarga. Sedangkan disisi lain, pengusaha dibimbing oleh upaya untuk mengakumulasi (mengumpulkan) profit sebesar-besarnya untuk kemakmuran pribadi. Dalam sistem produksi, hak-hak normatif kaum buruh tergolongkan sebagai cost produksi (biaya produksi). Dalam mensiasati problem usaha dan persaingan, biaya produksi yang berupa hak-hak normatif kaum buruhlah yang paling mungkin ditekan atau diutak-atik oleh pengusaha.

Politik Pengupahan

Setiap negara, wilayah, dan teritori bahkan pabrik selalu memiliki perbedaan upah yang mencolok. Bukan itu saja, perbedaan upah juga diterjadi dalam lapangan kerja yang berbeda (jasa, manufaktur, pertanian, dan lain-lain) maupun berdasarkan keahliannya. Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Menurut ekonom kapitalis, upah ditentukan oleh jumlah barang yang diproduksi dan jam (waktu) kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang produksi. Menurut kapitalis, buruh menjual kerjanya kepada kapitalis untuk memperoleh sejumlah upah. Kenyataannya, yang dibeli kapitalis bukanlah ”kerja”nya, melainkan membeli ”tenaga-kerja”nya. Kapitalis membeli tenaga kerja seorang buruh untuk waktu yang telah ditentukan (sebulan, dua bulan, setahun, dst). Untuk waktu yang sudah ditentukan itu, kapitalis akan membayar sejumlah uang kepada buruh, umpamanya untuk sebulan 900 ribu. Ia akan menggunakan 900 ribu itu untuk membeli beras beberapa kilo untuk sebulan, minyak goreng, menyewa kamar kost, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tenaga kerja adalah komoditi, tidak lebih atau kurang, daripada gula, beras, dan sebagainya.

Upah akan naik dan turun sesuai dengan hubungan penawaran dan permintaan, sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam persaingan antara pembeli tenaga kerja, yaitu kaum kapitalis, dengan penjual tenaga kerja, yaitu kaum buruh. Turun-naiknya upah pada umumnya bersesuaian dengan turun-naiknya harga-harga komoditi. Maka apakah biaya produksi tenaga kerja itu? Itu adalah biaya yang diperlukan untuk memelihara buruh sebagai seorang buruh dan memajukannya menjadi seorang buruh. Kapitalis dimana saja selalu berbicara bahwa nilai upah ditentukan oleh nilai kerja dan waktu kerja. Waktu kerja disini adalah jam-jam dari proses produksi yang dikerjakan oleh buruh. Kenyataannya untuk jam-jam yang sama (8 jam kerja sehari) kelihatan kapitalis dari berbagai pabrik memberikan nilai upah yang berbeda-beda. Kalau dikatakan nilai kerja (jumlah barang dan mutunya), maka kapitalis tentu harus membayar lebih tinggi kepada buruh yang lebih terampil dan ulet. Tapi kenyataannya tidak. Kalaupun mereka mau memberikan sogokan kepada buruh yang terampil dan ulet dengan pemberian “bonus”, tentunya itu merupakan taktik pengusaha saja untuk meransang hasil yang jauh lebih besar dan maksimum.
Pada umumnya pengusaha selalu berpatokan kepada upah minimum atau upah sesuai dengan standar kehidupan hidup layak (KHL). Menurut Karl Marx, penentuan upah minimum selalu berpatokan kepada biaya hidup dan biaya reproduksi. Biaya hidup disini meliputi nilai-nilai barang-barang seperti tempe, minyak goreng, beras, sewa kamar kos, tarif angkutan, dan lain-lain yang memungkinkan buruh tetap bertahan hidup dan bisa melangjutkan kerja esok hari (sesuai masa kerja yang dibutuhkan). Sedangkan biaya reproduksi meliputi prakondisi-prakondisi sosial bagi pekerja dan keluarganya (ras buruh) bisa berkembang biak dan menggantikan tenaga-tenaga yang sudah aus.

Beberapa faktor yang mempengaruhi negosiasi upah adalah;

pertama, harga-harga komoditi barang yang menjadi kebutuhan buruh. Kenaikan harga kebutuhan pokok (sembako) di pasar akan mempengaruhi negosiasi pekerja dan pengusaha, karena ini menyangkut eksistensi pekerja untuk tetap dapat bertahan hidup dan datang bekerja.

Kedua, tingkat persaingan di pasar tenaga kerja. Semakin banyak jumlah angkatan kerja baru tidak dibarengi dengan perluasan lapangan kerja baru akan menciptakan kompetisi di pasar tenaga kerja. Tentunya, dengan jenis barang dan mutu yang sama, kemudian dijual dengan harga lebih murah, tentunya akan mendesak kompetitor (saingan) keluar dari pasar.

Ketiga  tingginya produktifitas dan intensitas kerja seiring dengan perkembangan kapital. Jadi kerja satu jam akan menciptakan lebih banyak nilai di suatu negeri yang maju di bandingkan dengan negeri yang kurang maju. Ini menjelaskan kenapa muncul perbedaan upah di negara-negara maju dengan negara-negara berkembang atau perbedaan antara nilai upah di kota dan desa. Makin berkembang kapital produktif, maka makin makmur pengusahanya, makin berkembang pabriknya, makin banyak buruh yang dibutuhkan dan makin naik daya tawar buruh terhadap.

Keempat kekuatan gerakan buruh di pabrik, suatu wilayah atau sebuah negara. Di pabrik yang gerakan buruhnya kuat, memungkinkan untuk memenangkan nilai upah yang lebih tinggi ketimbang pabrik lain. Hal ini juga menjelaskan pentingnya gerakan politik dalam hal perjuangan pengupaham; di negara-negara yang gerakan buruhnya kuat dan politis tentu akan leluasa memaksakan kebijakan-kebijakan politis di bidang pengupahan yang menguntungkan. Karena tarikan penentuan upah minimum selalu berdasarkan region (administrasi pemerintahan) atau upah nasional (negara), maka perjuangan politik menjadi syarat mutlak kaum buruh bisa mendapatkan sedikit perbaikan dalam hal pengupahan.

Dalam melakukan pekerjaan di pabrik, kaum buruh bekerja menghasilkan dua nilai sekaligus yakni harga dari kerja (upah nominal) dan upah real. Upah nominal merupakan harga yang dibayarkan kapitalis atas tenaga kerja buruh-upahan. Sedangkan, upah real adalah nilai komoditi yang seharusnya didapatkan oleh buruh tetapi dirampas oleh kapitalis sebagai laba. Bagi kapitalis harga penjualan komoditi yang dihasilkan oleh buruh terbagi menjadi tiga bagian;
1.      penggantian harga bahan-bahan mentah (pabrik, bahan baku, listrik, dan lain-lain) yang dibayarkan pengusaha lebih dulu bersamaan dengan biaya pergantian penyusutan perkakas-perkakas yang dipergunakan.
2.      penggantian nilai upah (harga kerja) dari tenaga kerja buruh;
3.      kelebihan yang tersisa atau keuntungan (laba);

faktor yang pertama adalah faktor yang konstant (tetap) tidak dapat diganggu gugat, sedangkan yang kedua dan ketiga merupakan nilai baru yang sebenarnya diciptakan oleh tenaga kerja buruh. Sehingga boleh dikatakan bahwa upah dan laba sebenarnya sama-sama berasal dari keringat sang buruh.
Akan tetapi, upah dan laba berbanding terbalik satu sama lain dan tidak pernah ada titik temu. Kalau upah pekerja naik, maka nilai laba kapitalis akan menurun, demikian pula sebaliknya. ”Laba naik sebanyak turunnya upah; laba turun sebanyak naiknya upah”. Kalaupun pengusaha bisa meningkatkan laba dengan jalan lain seperti pembukaan pasar baru, penyingkiran terhadap kapitalis lain, atau mempercanggih atau memodernkan alat produksi, maka, tetap saja tidak ada kaitannya dengan naik-turunnya upah kerja. Yang bertambah hanya laba, sedangkan secara real upah buruh akan menurun karena kerja yang dibayar tetap saja lebih kecil dibandingkan dengan laba bersih si-kapitalis.
Pencurian Nilai Lebih
 
Pada bagian ini, kita akan membahas nilai upah riil yang seharusnya dinikmati buruh tetapi dikuasai oleh kapitalis. Tadi didepan sudah kami jelaskan bahwa kapitalis dimanapun selalu mendasarkan pembayaran upah buruh pada ketentuan soal upah mimimum. Penerapan upah minimum di Indonesia juga memiliki dimensi politik. Selama ini, pemerintah selalu mengutak-ngatik komponen upah (selain pembungkaman serikat buruh) sebagai keunggulan komparatif untuk menarik investasi masuk dalam ekonomi dalam negeri.

Misalkan pemerintah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) DKI 2008 sebesar Rp972.604. itu berarti, harga kerja seorang buruh selama sebulan ialah Rp. 978.604. Jika kapitalis berdalih bahwa yang dibayar adalah kerja seorang buruh, maka itu sebuah kebohongan besar. Adalah Karl Marx yang pertama kali membongkar kebohongan ini dalam perdebatan ekonomi-politik. Ia mencoba menjelaskan kebohongan ini lewat teorinya yang terkenal “surplus value”. Teori ini menjelaskan bahwa upah real yakni seluruh nilai baru yang diciptakan oleh buruh dari kerjanya ternyata sebagian besarnya dirampas oleh pengusaha. Misalkan seorang buruh di pabrik sepatu. Ia ditarget mengerjakan 30 pasang sehari dan harga satu pasang ada 50 ribu. sedangkan biaya bahan baku untuk membeli bahan kulit, dan bahan lainnya per-pasang adalah 20 ribu. maka sesungguhnya buruh itu sudah menghasilkan nilai baru (upah real) sebesar 30 ribu per pasang sepatu. Atau kalau di jumlahkan untuk sehari, maka si buruh sudah menciptakan nilai baru sebesar 900.000. akan tetapi, oleh pengusaha dibayarkan Rp. 27 ribu (UMP DKI 2007) untuk satu hari kerja. Maka sebenarnya pengusaha sudah mencuri nilai lebih yang diciptakan oleh buruh sebesar 873 ribu. Inilah yang dikatakan oleh Marx sebagai pencurian nilai lebih terhadap hasil keringat kaum buruh.

Kerja yang dilakukan oleh buruh sebenarnya mengandung dua aspek;
  1. Kerja wajib (necessary labour time) adalah bagian kerja dimana si pekerja  bekerja untuk si kapitalis yang membayarnya.
  2. Kerja tidak wajib atau kerja lebih adalah kelebihan dari kerja yang dibayarkan oleh kapitalis kepada buruh.
Pengusaha telah menghargai pekerjaan buruh selama 8 jam dengan membayarnya Rp. 27 ribu. Padahal dalam 8 jam kerja, si buruh sudah menghasilkan nilai sebenarnya yakni 900 ribu. Padahal untuk nilai 20 ribu, buruh paling banyak membutuhkan waktu sejam dan setelah itu ia dapat pulang kerumahnya (atau kontrakan) untuk beristirahat. Tetapi ia tetap harus tinggal di pabrik dan pekerja sampai 8 jam karena pengusaha telah membeli tenaga kerjanya untuk 8 jam kerja.

Dua pencurian nilai lebih dengan memanfaatkan jam kerja;
(1) Dengan perpanjangan jam kerja; cara memperpanjang jam kerja macam-macam; memperpendek atau menghapus jam istirahat, mengambil hari libur;
(2) Dengan pemotongan jam kerja, tapi dengan peningkatan produktifitas; memasang target, sistem bonus dan promosi jabatan bagi yang paling produktif;

Buruh dan Neoliberalisme
Neoliberalisme bukanlah sistem yang baru. sebenarnya dia hanya istilah yang baru untuk menjelaskan sebuah era baru dalam kapitalisme yang berdasarkan aturan yang sangat bebas bagi kapital asing. Neoliberalisme membawa sebuah keyakinan bahwa jika tidak ada lagi hambatan dalam perdagangan, investasi dan perekonomian, maka akan lahir kesejahteraan. Intervensi negara dalam kehidupan ekonomi dianggap merugikan (mendistorsi) pasar sehingga pasar menjadi tidak seimbang dan mempengaruhi kebebasan modal bergerak. Akan tetapi, neoliberalisme telah membawa malapetaka baru bukan saja kepada kaum buruh tetapi terhadap umat manusia dan lingkungan global.

Neoliberalisme telah merombak tatanan ekonomi dalam tataran global. Dalam sektor perburuhan, dampak paling nyata dari proyek neoliberal adalah diberlakukannya sistem Labour Market Flexibility (LMF) dan politik upah murah.  Pasar tenaga kerja yang fleksibel (LMF) sekarang menjadi tuntutan utama kaum kapitalis guna memaksimalkan profit (laba) mereka. Bukan saja di Indonesia, akan tetapi dipraktekkan juga di negara-negara maju seperti perancis dan lain-lain. Semangat dari penerapan LMF sangat nyata dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dimana ada pasal 55-56 Undang-Undang tersebut memberikan payung hukum bagi pengusaha untuk menerapkan sistem kontrak dan mempekerjakan buruh dengan cara sub-kontrak (outsourcing). Di eropa, kebijakan ini digunakan untuk merotasi pekerja guna mencegah pengangguran. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi stagnasi dari perkembangan ekonomi dan lesunya sektor ekonomi real (industri). Akan tetapi, alih-alih mengurangi pengangguran, sistem kontrak dan outsourcing justru memberikan peluang besar bagi pengangguran massal karena PHK massal sangat mudah dilakukan oleh pengusaha.

UU Nomor 13 tahun 2003 juga sangat anti serikat buruh (union busting). Perubahan status kerja menjadi pekerja kontrak atau di outsourcing akan menjadikan buruh ketakutan untuk berorganisasi, disamping karena waktunya yang pendek (kontrak diatur berdasarkan waktu yang singkat). Pengaruh kuat Liberaliasi dalam sektor perburuhan makin dominan dengan pemberlakuan UU Nomor 2 tahun 2004 tentang PPHI yang merubah mekanisme penyelesaian perselisihan industrialis menjadi individualis. Kalau sebelumnya, buruh didampingi oleh serikat pekerja dalam pertikaian industrial dengan pengusaha, maka dengan UU yang baru ini mekanismenya diserahkan kepada sebuah instansi semacam peradilan industrial. Dengan model seperti ini, Kaum buruh semakin tidak memiliki kekuatan dalam berhadapan dengan pengusaha ketika terjadi pertikaian.

  1. Sistem Kontrak
Dalam pemberlakuan sistem kontrak ada dua kepentingan yang bertemu yakni kepentingan pengusaha dan pemerintah. Pengusaha berkepentingan adanya sistem perburuhan yang lentur dan tidak membebani “cost production”. Mudah diutak-atik kapanpun di inginkan dan tidak beresiko memberikan perlawanan balik. Sedangkan bagi pemerintah, Sistem kontrak akan memungkinkan rotasi guna menangani pengangguran. Meskipun ini kelihatan “gali lobang, tutup lubang”, akan tetapi pemerintah diuntungkan dengan situasi itu. Pemerintah berkeyakinan, meskipun sifatnya temporer (sementara), akan tetapi akan membuat pengangguran seolah-olah menghilang.

Pemberlakuan sistem kontrak akan memberikan dampak kepada kaum buruh seperti; pertama hilangnya jaminan atas pekerjaan yang pasti. Buruh akan memperoleh status “kontrak” yang berarti sewaktu-waktu statusnya bisa dibatalkan oleh pengusaha sesuai perjanjian. Kedua daya tawar buruh dihadapan pengusaha sungguh sangat rendah. Pengusaha akan bisa berbuat apa saja, sedangkan kaum buruh tidak memiliki kekuatan yang berarti. Dengan sistem kontrak, hubungan setiap pekerja dan pengusaha adalah personal (individual) karena berdasarkan surat kontrak, bukan lagi kolektif (suatu lingkungan kerja). Hal itu menyulitkan kaum buruh dalam memenangkan tuntutan-tuntutan tentang kesejahteraan dan melakukan negosiasi untuk perbaikan kondisi kerja. Selama ini KKB dan PKB perusahaan yang disusun berdasarkan perundingan antara perwakilan pengusaha dan pekerja secara kolektif telah memberikan keuntungan dalam menjaga hak-hak kaum buruh. Saat ini, perjanjian kontrak dilakukan secara personal dan ikatannya pun personal sehingga sangat melemahkan posisi buruh. Ketiga melemahkan posisi serikat buruh sebagai alat perjuangan pekerja. Dengan pemberlakuan kontrak, buruh (pekerja) akan ketakutan untuk bergabung dengan organisasi pekerja. Pengusaha akan menggunakan dalih perjanjian (kontrak) sebagai senjata untuk menghalang-halangi pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja. Lagi pula, status pekerjaan yang berlansung singkat (maksimum 5 tahun) membuat pekerja enggan bergabung dengan serikat buruh. Keempat, hilangnya tunjangan dan jaminan sosial; pekerja kontrak tidak akan mendapat tunjangan sosial seperti uang pension. Di beberapa negara maju asuransi sudah menjadi keharusan, seperti security (unemployement insurance), dan retirement security seperti pension plan dan social security). Besarnya jaminan sosial ini pun mencapai 40% dari gaji, bahkan di Singapura mencapai 20%, sedangkan di Indonesia kurang dari 10% gaji.

  1. Sistem Outsourcing
Sistem kontrak menjadi lapangan kesulitan baru bagi pekerja. Kebijakan ini diatur dengan jelas dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam regulasi tersebut, kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi disuplai oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Di satu sisi buruh harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja. Kesepakatan mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, target produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu, baru ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur.

Sistem outsourcing juga merepukan pertemuan kepentingan beberapa pihak yakni pengusaha, pemerintah, dan perusahaan penyalur. Pengusaha akan diuntungkan karena sejumlah pekerjaan bisa di subkontrak-kan kepada perusahaan penyalur jasa tenaga kerja dari penyalur tanpa berhadapan dengan resiko “pekerja bandel”. Lembaga penyalur tenaga kerja tersebut dibentuk untuk berhadap-hadapan bila buruh mempermasalahkan upahnya. Namun, apabila ia mau mempermasalahkanpun, tiada ruang. Sebab, si buruh telah menandatangani sistem kontrak di awal kerjanya, ia sudah tak ada waktu lagi untuk bisa menuntut kenaikan upah. Masa kerja yang ditentukan selesai, maka tak ada relasi lagi bagi buruh untuk berharap lebih. Outsourcing jelas berupaya memutasi (memindahkan) pertentangan antara pengusaha dan pekerja kepada pekerja dan perusahaan penyalurnya (Penyedia jasa subontrak). Bagi negara, situasi ini akan menguntunkan pemerintah untuk memulai melepas tanggung jawabnya dalam hal perburuhan. Bagi perusahaan penyalur, hal itu akan menjadi lapangan bisnis baru yang menguntunkan karena perusahaan mendapat setoran dari pekerja dan juga dapat managemen fee dari pengusaha.

Pasar outsourcing di Indonesia setiap tahun diperkirakan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 16 hingga 17 persen dari tahun 2000 hingga 2004. bisnis ini begitu menggiurkan sejumlah pengusaha bar-bar (tidak beradab), volume bisnis industri alih daya (outsourcing) nasional dapat melampaui Rp 200 miliar per tahun. Angka ini dari diperoleh manajemen fee perusahaan yang menggunakan jasa subkontrak dan setoran yang didapat dari pekerja yang setiap bulannya mencapai 20-30%(Tempo Interaktif). Rendahnya penyerapan lapangan kerja terhadap angkatan kerja baru menyebabkan peluang outsourcing berkembang sebagai pilihan terakhir rakyat miskin bertahan hidup (survival). Sebanyak 40% dari angkatan kerja masuk dalam kategori under employment atau bekerja kurang dari 35 jam per minggu, sedangkan 40%nya angkatan kerja baru tidak terserap dalam lapangan industri.

Pasar tenaga kerja di Indonesia mirip dengan era kolonialisme di abad 19, pada saat pengusaha kolonial membuka ladang usahanya di Indonesia, ia memanfaatkan bupati-bupati, raja-raja, dan pemuka-pemuka masyarakat untuk menyediakan tenaga kerja. Dia sendiri mendapat fee (hadiah) dari pengusaha kolonial atas jasanya itu.

Buruh dan Sistem Ekonomi-Politik

Kebanyakan kaum buruh masih bersifat acuh tak acuh dengan persoalan ekonomi-politik. Menurut perkiraan mereka, prose kerja yang berlansung di pabrik tak ada kaitannya dengan kehidupan ekonomi dan politik. Ini jelas merupakan kesalahan dalam berfikir. Di atas sudah dijelaskan bahwa posisi antara buruh dan pengusaha selalu dalam ruang yang bertentangan satu sama lain. Dengan memanfaatkan kekuasaan politik, pengusaha bisa memaksakan pemberlakukan kebijakan perundang-undangan yang melingdungi kepentingannya, tetapi, disisi lain sangat merugikan pekerja. Kenapa kebijakan politik banyak menguntungkan pengusaha? Karena di dalam lembaga pengambilan kebijakan seperti DPR atau pemerintahan dipenuhi oleh unsur-unsur pengusaha. Pengaruh kaum buruh dalam kehidupan politik masih kecil dan kurang diperhitungkan. Hal ini disebabkan oleh karena memang begitu lama kaum buruh ditekan dan dijadikan “perkakas bisu” sewaktu Orde Baru masih berkuasa.

Di pabrik kita mengenal serikat buruh. Akan tetapi, Serikat buruh hanya menjadi alat perjuangan kita di pabrik atau alat perjuangan kita dalam menuntut hak-hak normatif. Serikat Buruh sendiri boleh terlibat dalam Dewan Pengupahan akan tetapi kepesertaannya hanya pada serikat buruh besar sedangkan serikat buruh kecil tidak mendapatkan tempat. Dalam perumusan kebijakan UU yang berkaitan dengan perburuhan, Serikat buruh tidak pernah dilibatkan karena dianggap bukan lembaga politik. Perjuangan-perjuangan di pabrik hanyalah salah satu aspek dari perjuangan kaum buruh guna mempertahankan hak-hak normatifnya. Kaum buruh harus memperkuat gerakannya pada wilayah politik guna memenangkan kebijakan politik yang memihak kepada kepentingan kaum buruh.

Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, kaum buruh harus berpolitik. Kaum buruh harus terlibat aktif mendirikan partainya sendiri dan mengajukan calon-calonnya. Akan tetapi, tujuan ini tidak akan terwujud kalau kaum buruh tidak merangkul kelompok masyarakat lain yang juga mengalami ketertindasan. Partai yang didirikan oleh kaum buruh akan menjadi alat perjuangan politik kaum buruh. Perubahan yang lebih baik akan terwujud kalau kaum buruh sudah sanggup merebut kekuasaan politik (pemerintahan).  


[1] Koordinator Bidang Pendidikan dan Kaderisasi DPP Papernas.

REVITALISASI SEMANGAT GERAKAN: “KAUM BURUH”

           Kaum Buruh dalam kamus kalangan Marxsisme selalu di kaitkan dengan kelompok yang di sebut “Kaum Proletariat”, karena tidak sering terlihat nasib buruh semenjak terjadinya Revolusi Industri di Inggris selalu hidup melarat, sengsara, ditindas, dihisap, diperlakukan seperti budak, bahkan binatang yang dipaksa untuk melakukan kerja rodi (kerja tanpa upah). Perjalanan kaum buruh dalam tekanan para pemodal terus langgeng, bahkan tekanan-tekanan terhadap buruh seringkali di legitimasi oleh para penguasa negara melalui peraturan-peraturan negara, yakni Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pengganti UU, Peraturan daerah dan juga bisa melalui keputusan-keputusan menteri, hal ini bisa terjadi karena bersepakatnya antara para pemodal (pemodal berambut pirang/asing atau pemodal berambut hitam/dalam negeri)  dengan pemegang kekuasaan yang kemudian berakibat kepada keterpurukan nasib buruh serta tidak jelas.
           Sebagaimana yang dikatakan oleh Karl Marx dalam teori tentang kesadaran kelas buruh, yakni “bahwa kesadaran-kesadaran kelas yang tetindas akan selalu muncul sebuah perlawanaan yang besar terhadap kelas yang ditindas terhadap kelas penindas”. Kondisi kesadisan para pengusaha terhadap kaum pekerja yang mengakibatkan rasa senasib antar pekerja yang memuncak pada upaya-upaya konsolidasi antar pekerja, sehingga memuncak gerakan buruh pada hari Sabtu, 1 Mei 1886 di Chicago, AS. Hari yang semula sesak dengan aktivitas pabrik yang beroprasi untuk melakukan produksi, hari yang para buruh pabrik, toko, hotel disibukkan dengan akativitas kerjanya akaan tetapi berubah total akibat terjadinya pemogokan buruh di kota itu demikian menyeluruh, membuat segala aktivitas kota menjadi lumpuh, pabrik tidak lagi mengepulkan asap-asap polusi pabrik keruang angkasa, pabrik tidak lagi melakukan produksi, pelayanan konsumen baik di toko-toko dan hotel pun terhenti. Dua hari setelahnya kepolisian kota menembaki pemogok, hingga korban berjatuhan. Peristiwa ini memicu amarah di kalangan buruh. Aksi damai massa di lapangan Haymarket-Chicago pada hari-hari berikutnya pun menelan banyak lagi korban, menyusul pelemparan bom yang melukai 70 petugas  keamanan. Tak menemukan sang pelaku pelempar bom oleh kalangan buruh, membuat kepolisian kota malah menangkap 8 aktivis buruh hanya karena mereka dianggap pemimpin buruh yang revolusioner. Kisah ini berujung tragis: kedelapan aktivis itu dijatuhi hukuman mati.
Gelombang protes buruh pun semakin menggunung, juga aksi protes yang sama bersal dari buruh-buruh dari belahan negeri lain. Sejak 1890, 1 Mei akhirnya untuk pertama kalinya dirayakan sebagai hari buruh internasional. Akan tetapi, lewat perjalanan waktu percik api yang menjalar itu justru padam pula di sumbernya: peringatan hari buruh di AS kian lama kian redup, kebanyakan masyarakat AS lupa tentang sejarah ini. Ketika lebih dari satu abad kemudian 1 Mei di banyak negeri kini dikenang oleh kaum buruh sebagai momen perlawanan mereka, dan bahkan diakui secara resmi di banyak negara, justru di "kampung halamannya" 1 Mei telah dilupakan.
Sejak era histeria anti-komunis Perang Dingin, masyarakat AS memilih perayaan hari buruh 1 Mei diubah menjadi "hari kesetiaan" pada negara, dan digeser ke setiap Senin pertama di bulan September dengan argumentasi ringan: hari (Senin) itu akan merupakan hari libur yang pas untuk mengisi jeda panjang antara hari kemerdekaan, 4 Juli, dan hari syukuran (thanksgiving day) di bulan November.
Di Indonesia sendiri, dinamika aksi buruh pada dekade terkahir selalu berjalan dan didengungkan  secara rutin setiap ada moment-meoent terkait persoalan yang dihadapi oleh para buruh, yang tidak jarang aksi-aksi yang dilakukan oleh para buruh selama ini, termasuk aksi peringatan 1 Mei (May Day), belum mampu secara berarti mempengaruhi kebijakan politik nasional. Selama masa Reformasi, sepanjang 1999-2007, aksi buruh terbanyak terjadi pada tahun 2001 (sekitar 357 kali), sementara partisipasi buruh dalam aksi paling banyak terjadi pada tahun 2000: melibatkan sedikitnya 730.922 buruh. Secara teoritis gelombang demonstrasi buruh mestinya lebih besar lagi terjadi pascapengesahan UU No.13 tahun 2003 yang melegalkan sistem kontrak dan praktek outsourcing. Akan tetapi hal ini tidaklah terjadi, terutama karena dua sebab: daya tawar-menawar buruh yang terus melemah dan semakin ciutnya lapangan kerja bagi mereka.
Sebetulnya pada masa sebelum Orde Baru, yakni pada masa Orde Lama, Sokarno,  buruh mendapat tempat yang relatif lebih baik dibanding sekarang: tanggal 1 Mei dirayakan sebagai hari buruh dan hukum perburuhan Indonesia masa itu – dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya – dianggap paling melindungi buruh. Tapi kini waktu tak lagi memihak buruh. Terutama sejak zaman peralihan ke era Orde Baru seiring dengan kebijakan percepatan industrialisasi, buruh perlahan diseret kembali ke dalam kesengsaraan tak berujung. Meminjam frase John Ingleson (2004), menjadi buruh di negeri ini waktu itu, ibarat tubuh dengan "tangan dan kaki terikat!".
Padahal catatan tinta sejarah dalam perlawanan kolonialisme Belanda menyebutkan bahwa organisasi-organisasi buruh Indonesia, terutama berakar pada sektor transportasi dan perkebunan, memainkan peran penting dalam babak-babak melawan penjajahan yang penuh kekerasan. Didirikan pada tahun 1910-an, organisasi-organisasi buruh bahkan lebih dahulu ada ketimbang partai-partai politik dan beragam organisasi massa lain. Pemerintahan Hindia Belanda tentu saja dengan keras memberangus berkembangnya kelompok radikal gerakan buruh yang dipengaruhi oleh perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Penghancuran PKI oleh koalisi yang dipimpin tentara, kelas menengah perkotaan, juga kepentingan kaum pemilik tanah pasca-1965 berdampak pada terkikisnya tradisi keserikat buruhan politik atau organisasi buruh. Sejak 1970-an hingga tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto buruh dihalang-halangi oleh sistem otoriter yang hanya memberikan ruang kepada satu federasi serikat buruh bikinan pemerinta, yakni SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Kebijakan ini merupakan bagian dari depolitisasi buruh yang selalu diiringi dengan dokrtin bahwa buruh dan pengusaha haruslah harmonis dan keduanya saling membutuhkan. Tentu peristiwa bersejarah tumbangnya diktator Soeharto dan rezim Orde Baru telah membebaskan upaya pengorganisasian buruh dari sekian rintangan yang telah lama ada.
Akan tetapi ketika para elite – baik lama maupun baru– tampil berkolaborasi dalam satu wadah politik yang demokratis agenda Reformasi pun dibajak. Para buruh dan serikat buruh umumnya tidak mampu terlibat dan akhirnya ditinggalkan. Sejak beberapa tahun lalu buruh selalu menuntut pencabutan Undang-Undang No.13/2003 karena memeras mereka. Tapi pada 2006 UU tersebut malah sempat akan direvisi demi memfasilitasi penanam modal asing dan mengundang mereka menanamkan modal jauh lebih banyak lagi. Padahal penanam modal enggan bertandang terlebih karena sistem birokrasi negeri ini yang sangat korup.