Sabtu, 22 Oktober 2011

REVITALISASI SEMANGAT GERAKAN: “KAUM BURUH”

           Kaum Buruh dalam kamus kalangan Marxsisme selalu di kaitkan dengan kelompok yang di sebut “Kaum Proletariat”, karena tidak sering terlihat nasib buruh semenjak terjadinya Revolusi Industri di Inggris selalu hidup melarat, sengsara, ditindas, dihisap, diperlakukan seperti budak, bahkan binatang yang dipaksa untuk melakukan kerja rodi (kerja tanpa upah). Perjalanan kaum buruh dalam tekanan para pemodal terus langgeng, bahkan tekanan-tekanan terhadap buruh seringkali di legitimasi oleh para penguasa negara melalui peraturan-peraturan negara, yakni Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pengganti UU, Peraturan daerah dan juga bisa melalui keputusan-keputusan menteri, hal ini bisa terjadi karena bersepakatnya antara para pemodal (pemodal berambut pirang/asing atau pemodal berambut hitam/dalam negeri)  dengan pemegang kekuasaan yang kemudian berakibat kepada keterpurukan nasib buruh serta tidak jelas.
           Sebagaimana yang dikatakan oleh Karl Marx dalam teori tentang kesadaran kelas buruh, yakni “bahwa kesadaran-kesadaran kelas yang tetindas akan selalu muncul sebuah perlawanaan yang besar terhadap kelas yang ditindas terhadap kelas penindas”. Kondisi kesadisan para pengusaha terhadap kaum pekerja yang mengakibatkan rasa senasib antar pekerja yang memuncak pada upaya-upaya konsolidasi antar pekerja, sehingga memuncak gerakan buruh pada hari Sabtu, 1 Mei 1886 di Chicago, AS. Hari yang semula sesak dengan aktivitas pabrik yang beroprasi untuk melakukan produksi, hari yang para buruh pabrik, toko, hotel disibukkan dengan akativitas kerjanya akaan tetapi berubah total akibat terjadinya pemogokan buruh di kota itu demikian menyeluruh, membuat segala aktivitas kota menjadi lumpuh, pabrik tidak lagi mengepulkan asap-asap polusi pabrik keruang angkasa, pabrik tidak lagi melakukan produksi, pelayanan konsumen baik di toko-toko dan hotel pun terhenti. Dua hari setelahnya kepolisian kota menembaki pemogok, hingga korban berjatuhan. Peristiwa ini memicu amarah di kalangan buruh. Aksi damai massa di lapangan Haymarket-Chicago pada hari-hari berikutnya pun menelan banyak lagi korban, menyusul pelemparan bom yang melukai 70 petugas  keamanan. Tak menemukan sang pelaku pelempar bom oleh kalangan buruh, membuat kepolisian kota malah menangkap 8 aktivis buruh hanya karena mereka dianggap pemimpin buruh yang revolusioner. Kisah ini berujung tragis: kedelapan aktivis itu dijatuhi hukuman mati.
Gelombang protes buruh pun semakin menggunung, juga aksi protes yang sama bersal dari buruh-buruh dari belahan negeri lain. Sejak 1890, 1 Mei akhirnya untuk pertama kalinya dirayakan sebagai hari buruh internasional. Akan tetapi, lewat perjalanan waktu percik api yang menjalar itu justru padam pula di sumbernya: peringatan hari buruh di AS kian lama kian redup, kebanyakan masyarakat AS lupa tentang sejarah ini. Ketika lebih dari satu abad kemudian 1 Mei di banyak negeri kini dikenang oleh kaum buruh sebagai momen perlawanan mereka, dan bahkan diakui secara resmi di banyak negara, justru di "kampung halamannya" 1 Mei telah dilupakan.
Sejak era histeria anti-komunis Perang Dingin, masyarakat AS memilih perayaan hari buruh 1 Mei diubah menjadi "hari kesetiaan" pada negara, dan digeser ke setiap Senin pertama di bulan September dengan argumentasi ringan: hari (Senin) itu akan merupakan hari libur yang pas untuk mengisi jeda panjang antara hari kemerdekaan, 4 Juli, dan hari syukuran (thanksgiving day) di bulan November.
Di Indonesia sendiri, dinamika aksi buruh pada dekade terkahir selalu berjalan dan didengungkan  secara rutin setiap ada moment-meoent terkait persoalan yang dihadapi oleh para buruh, yang tidak jarang aksi-aksi yang dilakukan oleh para buruh selama ini, termasuk aksi peringatan 1 Mei (May Day), belum mampu secara berarti mempengaruhi kebijakan politik nasional. Selama masa Reformasi, sepanjang 1999-2007, aksi buruh terbanyak terjadi pada tahun 2001 (sekitar 357 kali), sementara partisipasi buruh dalam aksi paling banyak terjadi pada tahun 2000: melibatkan sedikitnya 730.922 buruh. Secara teoritis gelombang demonstrasi buruh mestinya lebih besar lagi terjadi pascapengesahan UU No.13 tahun 2003 yang melegalkan sistem kontrak dan praktek outsourcing. Akan tetapi hal ini tidaklah terjadi, terutama karena dua sebab: daya tawar-menawar buruh yang terus melemah dan semakin ciutnya lapangan kerja bagi mereka.
Sebetulnya pada masa sebelum Orde Baru, yakni pada masa Orde Lama, Sokarno,  buruh mendapat tempat yang relatif lebih baik dibanding sekarang: tanggal 1 Mei dirayakan sebagai hari buruh dan hukum perburuhan Indonesia masa itu – dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya – dianggap paling melindungi buruh. Tapi kini waktu tak lagi memihak buruh. Terutama sejak zaman peralihan ke era Orde Baru seiring dengan kebijakan percepatan industrialisasi, buruh perlahan diseret kembali ke dalam kesengsaraan tak berujung. Meminjam frase John Ingleson (2004), menjadi buruh di negeri ini waktu itu, ibarat tubuh dengan "tangan dan kaki terikat!".
Padahal catatan tinta sejarah dalam perlawanan kolonialisme Belanda menyebutkan bahwa organisasi-organisasi buruh Indonesia, terutama berakar pada sektor transportasi dan perkebunan, memainkan peran penting dalam babak-babak melawan penjajahan yang penuh kekerasan. Didirikan pada tahun 1910-an, organisasi-organisasi buruh bahkan lebih dahulu ada ketimbang partai-partai politik dan beragam organisasi massa lain. Pemerintahan Hindia Belanda tentu saja dengan keras memberangus berkembangnya kelompok radikal gerakan buruh yang dipengaruhi oleh perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Penghancuran PKI oleh koalisi yang dipimpin tentara, kelas menengah perkotaan, juga kepentingan kaum pemilik tanah pasca-1965 berdampak pada terkikisnya tradisi keserikat buruhan politik atau organisasi buruh. Sejak 1970-an hingga tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto buruh dihalang-halangi oleh sistem otoriter yang hanya memberikan ruang kepada satu federasi serikat buruh bikinan pemerinta, yakni SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Kebijakan ini merupakan bagian dari depolitisasi buruh yang selalu diiringi dengan dokrtin bahwa buruh dan pengusaha haruslah harmonis dan keduanya saling membutuhkan. Tentu peristiwa bersejarah tumbangnya diktator Soeharto dan rezim Orde Baru telah membebaskan upaya pengorganisasian buruh dari sekian rintangan yang telah lama ada.
Akan tetapi ketika para elite – baik lama maupun baru– tampil berkolaborasi dalam satu wadah politik yang demokratis agenda Reformasi pun dibajak. Para buruh dan serikat buruh umumnya tidak mampu terlibat dan akhirnya ditinggalkan. Sejak beberapa tahun lalu buruh selalu menuntut pencabutan Undang-Undang No.13/2003 karena memeras mereka. Tapi pada 2006 UU tersebut malah sempat akan direvisi demi memfasilitasi penanam modal asing dan mengundang mereka menanamkan modal jauh lebih banyak lagi. Padahal penanam modal enggan bertandang terlebih karena sistem birokrasi negeri ini yang sangat korup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar